KARIMATA.NET, PAMEKASAN – Sejumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Arek Lancor, Pamekasan, menggelar aksi protes yang penuh emosi terhadap seorang oknum ketua paguyuban PKL.
Mereka menuding oknum tersebut tidak menepati janji yang telah dibuat terkait pengurusan surat izin berjualan.
Aksi ini berlangsung di Food Colony Pamekasan dan melibatkan puluhan pedagang kecil yang merasa dirugikan.
Menurut Jumaati, seorang pedagang asal Bettet, ia bersama rekan-rekan sesama pedagang telah membayar iuran sebesar Rp30 ribu per tahun kepada oknum ketua paguyuban. Iuran tersebut, berdasarkan keterangan sebelumnya, seharusnya digunakan untuk membuat surat izin berjualan di kawasan Arek Lancor. Namun hingga kini, surat yang dijanjikan tidak pernah ada.
“Kami sudah bayar Rp30 ribu selama setahun, katanya untuk surat izin berjualan, tapi sampai sekarang surat itu tidak pernah ada. Malah orangnya sempat menghilang,” ungkap Jumaati dengan nada kecewa.
Para PKL pun merasa tertipu. Saat mendengar kabar bahwa oknum tersebut berada di Food Colony Pamekasan, mereka segera mendatanginya untuk meminta kejelasan.
“Kalau memang tidak bisa membantu, kenapa harus memungut uang kami? Kami hanya ingin keadilan. Kami ini pedagang kecil, uang segitu sangat berarti bagi kami,” tambahnya.
Sementara itu, A. Mochtar, mantan koordinator PKL Arek Lancor, memberikan klarifikasi terkait situasi yang terjadi. Ia mengaku pernah diminta untuk melegalitaskan Paguyuban PKL Arek Lancor pada saat kegiatan sosialisasi di Kelurahan Barurambat. Namun, ia menyetujui hal itu dengan syarat tidak akan meminta sumbangan dari PKL, melainkan menanggung biaya legalitas sendiri.
Meski demikian, para PKL secara mandiri memberikan uang sebesar Rp3,5 juta untuk membantu biaya legalitas. Uang tersebut digunakan untuk pengurusan dokumen di Kemenkumham yang memakan biaya Rp2,8 juta, kemudian dibulatkan menjadi Rp3 juta dengan tambahan Rp200 ribu untuk biaya perbaikan dokumen. Sisa Rp500 ribu, menurutnya, telah dikembalikan kepada PKL untuk keperluan transportasi dan konsumsi.
Mochtar menambahkan bahwa legalitas paguyuban sempat diterbitkan dengan nama “Paguyuban PKL Sentral Arlan Bersatu”, namun karena adanya kesalahpahaman, dokumen tersebut disobek.
“Legalitasnya sudah jadi, tapi ada konflik internal. Padahal, dari uang yang dikumpulkan, semuanya sudah dipertanggungjawabkan,” ujar Mochtar. (Ziyad/Suk)