Breaking News
Foto: Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusara Kabupaten Pamekasan, H. Marsuto Alfianto, SH., MH.

Kenapa Disebut Rugikan Negara? Kejari dan LBH Pusara Beri Penjelasan Kasus UPS Palengaan

KARIMATA.NET, PAMEKASAN – Banyak kawan Karimata yang mempertanyakan kasus Unit Pegadaian Syariah (UPS) Palengaan, Kabupaten Pamekasan, khususnya kenapa perkara ini disebut menimbulkan kerugian negara, bukan kerugian nasabah. Pertanyaan itu mencuat setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan menyita sejumlah aset milik tersangka H dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi program gadai emas, Kamis (28/08/2025) sekitar pukul 10.30 WIB di Desa Palengaan Daya, Kecamatan Palengaan. Penyitaan dilakukan sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian keuangan negara.

Kasi Pidsus Kejari Pamekasan, Ali Munip, menjelaskan kerugian negara muncul karena emas milik nasabah sudah kembali, sementara uang pegadaian yang sudah dicairkan melalui agen belum kembali.

“Kerugian itu bukan pada nasabah, sebab emas mereka sudah diterima kembali. Tapi uang milik pegadaian yang dikeluarkan melalui agen tidak kembali, sehingga itu yang dihitung sebagai kerugian negara,” tegas Ali Munip saat dikonfirmasi gatekeeper Karimata.net Jumat (29/08/2025) pagi.

Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusara Kabupaten Pamekasan, H. Marsuto Alfianto, SH., MH., memberikan penjelasan secara detail terkait hal tersebut. Ia menyebut, ada tiga komponen yang menjadi dasar kenapa kasus ini masuk kategori kerugian negara, yakni nasabah, agen, dan PT Pegadaian.

“Sederhananya begini, kenapa disebut kerugian negara? Ada tiga komponen yang bisa dikatakan ini kerugian negara. Pertama ada nasabah, kemudian agen, dan yang ketiga adalah PT Pegadaian. Dalam aturan, setiap nasabah yang ingin menggadaikan atau mengambil emasnya harus hadir langsung. Agen tidak boleh mencairkan atau menandatangani kwitansi pengambilan tanpa kehadiran nasabah,” terang Marsuto.

Ia mencontohkan, dalam praktiknya, sering terjadi penyimpangan di mana agen mencairkan jumlah penuh dari pegadaian, tetapi hanya memberikan sebagian kecil kepada nasabah.

“Misalnya, emas ditaksir Rp100 juta, maka pegadaian bisa mencairkan Rp80 juta. Namun agen hanya menyerahkan Rp10 juta kepada nasabah, sedangkan sisanya tidak diberikan. Saat nasabah ingin menebus, ia hanya membawa Rp10 juta, padahal pegadaian sudah mengeluarkan Rp80 juta plus ujroh atau bunga. Selisih Rp70 juta inilah yang kemudian menjadi masalah,” paparnya.

Marsuto menegaskan, selisih tersebut menyebabkan pegadaian yang harus menanggung kerugian, karena dana yang dikeluarkan lebih besar daripada yang diterima kembali dari nasabah.

“Karena nasabah hanya terima Rp10 juta, maka pegadaian terpaksa menutup kekurangan Rp70 juta tersebut. Di situlah letak kerugian negara, sebab dana yang digunakan pegadaian merupakan bagian dari keuangan negara,” tegasnya.

Ia menambahkan, kerugian negara muncul karena adanya praktik sistem yang tidak benar di tingkat bawah, sehingga beban justru ditanggung oleh pegadaian. Menurutnya, selama mekanisme itu tidak sesuai aturan, risiko kerugian negara akan terus terjadi.

“Uang di pegadaian itu uang negara. Karena sistem yang dijalankan tidak benar, akhirnya menimbulkan kerugian negara,” pungkasnya. (Bam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *