KARIMATAMEDIA, PAMEKASAN – Cuaca panas ekstrem masih melanda berbagai wilayah Indonesia dalam sepekan terakhir, termasuk di Pulau Madura.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu maksimum di atas 35 derajat Celcius terpantau meluas hampir di seluruh wilayah Tanah Air.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Trunojoyo, Ari Widjajanto, saat on air di Radio Karimata menjelaskan, cuaca panas kali ini merupakan hasil kombinasi antara gerak semu Matahari dan pengaruh Monsun Australia. Menurutnya, fenomena tersebut masih akan berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025.
“Saat ini posisi semu Matahari memang berada di wilayah selatan ekuator, sehingga intensitas penyinaran di Indonesia bagian selatan, termasuk Madura, menjadi lebih tinggi. Ditambah lagi pengaruh Monsun Australia yang membawa udara kering dan hangat,” terang Ari.
Ia menambahkan, penguatan angin timuran menyebabkan massa udara kering mendominasi, sehingga pembentukan awan berkurang dan radiasi sinar Matahari mencapai permukaan bumi secara maksimal.
“Kondisi panas ini sebenarnya wajar terjadi pada periode peralihan musim. Karena minimnya awan, sinar Matahari langsung menerpa permukaan bumi tanpa hambatan. Itulah yang membuat udara terasa lebih menyengat,” ujarnya.
Ari juga menjelaskan, ketika memasuki masa awal pancaroba, kecepatan angin mulai melemah dan awan mulai terbentuk. Namun, situasi ini justru menimbulkan rasa gerah, karena sinar Matahari yang tertahan awan berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap di lapisan bawah atmosfer.
“Itu sebabnya meski matahari tertutup awan, kita tetap merasa panas dan gerah. Energi panas yang seharusnya terlepas ke atmosfer justru terpantul kembali ke permukaan,” pungkasnya. (Ziyad/Sl)