Ilustrasi Stop Bullyng.

Trauma Korban Jadi Penghalang, Diversi Perundungan di Pademawu Pamekasan Gagal Total

KARIMATA.NET, PAMEKASAN – Upaya diversi pertama kasus perundungan siswa SMPN 2 Pademawu yang digelar di Mapolres Pamekasan pada Jumat (15/8/2025) berakhir gagal. 

Mediasi tidak membuahkan kesepakatan sehingga proses hukum kini berlanjut ke Kejaksaan Negeri Pamekasan.

Tenaga Ahli Divisi Hukum UPTD PPA, Prof. Umi Supraptiningsih, saat on air di Radio Karimata menjelaskan bahwa kasus ini melibatkan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), baik korban maupun pelaku.

“Anak yang berhadapan dengan hukum bisa berstatus sebagai korban, pelaku, maupun saksi. Karena itu penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Nomor 11 Tahun 2012, serta Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023,” ungkapnya.

Ia menambahkan, diversi merupakan kewajiban aparat penegak hukum dalam menangani kasus yang melibatkan ABH. Diversi dimaknai sebagai pengalihan proses hukum di luar jalur pengadilan melalui musyawarah yang melibatkan pihak korban, pelaku, orang tua, sekolah, dinas pendidikan, hingga lembaga terkait.

Namun, diversi yang digelar di Polres Pamekasan tidak menemui titik temu. Pihak korban masih bersikukuh untuk melanjutkan proses hukum sehingga berkas akan diteruskan ke Kejaksaan. Umi menegaskan, tahapan diversi akan kembali digelar di kejaksaan, dan jika tetap gagal, pengadilan juga berkewajiban mengupayakannya lagi.

Menurutnya, diversi hanya bisa dilakukan jika syarat terpenuhi, yakni ancaman hukuman di bawah tujuh tahun dan bukan kasus pengulangan. “Kasus ini memang pertama kali dilaporkan, tetapi karena belum ada kesepakatan maka harus dilanjutkan ke tingkat kejaksaan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Umi mengungkapkan kondisi korban saat ini masih mengalami trauma mendalam. UPTD PPA sudah menyiapkan pendampingan psikologis untuk pemulihan. Sementara dari sisi pelaku, juga dilakukan asesmen oleh pekerja sosial untuk mengetahui faktor penyebab perilaku dan kebutuhan terapi psikologis.

“Kami sudah menyiapkan beberapa psikolog untuk mendampingi baik korban maupun pelaku. Namun semua ini harus disertai kerja sama dengan orang tua dan pihak sekolah. Jika tidak, proses pendampingan akan sulit berjalan,” tegasnya.

Umi juga menekankan bahwa hak pendidikan anak harus tetap terjamin, baik bagi korban maupun pelaku. Ia mengingatkan agar sekolah bersama dinas terkait memastikan anak tetap belajar, tidak larut dalam rasa takut, dan tidak kehilangan hak-haknya.

Ia menutup penjelasannya dengan ajakan agar orang tua, sekolah, dan lingkungan lebih peka terhadap kondisi anak. “Selama anak berada di sekolah, tanggung jawab ada di pihak sekolah. Tapi orang tua juga harus mengetahui kondisi anaknya, agar hal-hal yang tidak diinginkan bisa dicegah sejak dini,” pungkasnya. (Ziyad/Ag)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *