Kapolres Pamekasan saat mimpin apel (Doc-Karimata.net)

Polres Pamekasan Tegas Larang “Sound Horeg” di Karnaval dan Pesta Rakyat

KARIMATA.NET, PAMEKASAN – Menjelang perhelatan karnaval dan pesta rakyat tahun ini, sebagian pendengar Radio Karimata ramai membicarakan maraknya fenomena “sound horeg” yang kerap mengiringi acara-acara masyarakat.

Sound horeg, yang merujuk pada penggunaan sistem audio berukuran besar dengan suara menggelegar hingga membuat lantai bergetar, sering digunakan dalam hajatan, pawai, atau arak-arakan. Istilah horeg sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti bergerak atau bergetar, sesuai efek yang ditimbulkan dari dentuman bass-nya.

Namun, meski menjadi daya tarik bagi sebagian pihak, aktivitas ini menuai pro-kontra di media sosial. Sebagian warga menganggapnya sebagai hiburan dan pemicu semangat, sementara yang lain mengeluh karena kebisingan dan potensi gangguan ketertiban umum.

Kapolres Pamekasan, AKBP Hendra Eko Triyulianto, menegaskan bahwa pihaknya telah mengeluarkan imbauan larangan penyelenggaraan sound horeg di wilayah Pamekasan.

“Polres Pamekasan mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak mengadakan atau menyelenggarakan kegiatan sound horeg atau sejenisnya yang dapat menimbulkan kebisingan dan keresahan warga. Selama ada tindak pidana, kami akan proses,” tegas AKBP Hendra, Rabu (13/8/2025).

Larangan tersebut juga telah disampaikan ke seluruh Polsek jajaran agar diteruskan kepada masyarakat luas. Tujuannya, mencegah gesekan sosial dan memastikan jalannya karnaval berlangsung kondusif tanpa gangguan kebisingan ekstrem.

Dengan tegasnya imbauan ini, publik kini menantikan apakah pesta rakyat tahun ini akan tetap “bergetar” oleh dentuman bass, atau justru berjalan lebih tertib dan nyaman bagi semua kalangan.

Sebagai informasi, SE Bersama Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025, dan Nomor SE/10/VIII/2025 yang berlaku sejak 6 Agustus 2025 memuat sejumlah aturan ketat.

Untuk sound system statis seperti pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, atau seni budaya di ruang terbuka maupun tertutup, batas kebisingan ditetapkan maksimal 120 dBA. Sementara untuk sound system non-statis seperti karnaval atau unjuk rasa, batasnya hanya 85 dBA.

Aturan ini juga mewajibkan penghentian pengeras suara saat melintas di rumah ibadah ketika ibadah berlangsung, rumah sakit, ada ambulans yang membawa pasien, dan saat proses belajar-mengajar di sekolah.

Selain pembatasan tingkat kebisingan, SE Bersama juga mengatur kelayakan kendaraan pengangkut sound system, larangan penggunaan untuk kegiatan yang melanggar norma agama, kesusilaan, dan hukum, serta kewajiban mengurus izin keramaian.

Penyelenggara juga harus membuat surat pernyataan tanggung jawab atas potensi kerugian materiil maupun korban jiwa. (Ziyad/Lum)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *