KARIMATA.NET, PAMEKASAN – Olahraga lari kini semakin digemari masyarakat Indonesia. Namun di balik tren positif ini, tersimpan risiko serius jika tidak dilakukan dengan pemahaman dan persiapan yang cukup, salah satunya adalah serangan jantung mendadak saat berlari.
dr. Muklis, Founder Indorunner Regional Pamekasan, menegaskan pentingnya mengenali sinyal tubuh sebelum memutuskan berlari, terutama bagi pemula.
“Semua orang boleh mulai lari, tapi kita juga tidak boleh nekat. Harus tahu alarm tubuh kita sendiri. Mulai dari jantung berdebar, sesak napas, atau pusing berkunang-kunang,” ujar dr. Muklis saat On Air di Dinamika Madura, Selasa (10/06/2025).
Menurutnya, beberapa kasus serangan jantung mendadak terjadi pada anak muda usia 20–30 tahun, yang secara fisik tampak sehat namun memiliki kondisi medis yang tidak terdeteksi.
“Yang muda itu biasanya semangatnya tinggi, ingin tahu batas kemampuannya, lalu aktivitas berat itu dipacu terus. Padahal, tidak semua tubuh bisa mentoleransi,” tambahnya.
Untuk itu, dr. Muklis menyarankan pemula memulai dari aktivitas ringan seperti berjalan kaki selama 10–15 menit per hari secara rutin selama satu minggu. Fokus awalnya bukan pada kecepatan atau jarak, tapi membangun kebiasaan sehat yang konsisten.
“Jangan langsung ikut event lari hanya karena teman-teman, mulai dulu dari 10–15 menit. Kita harus tahu batas kemampuan kita,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan pemantauan detak jantung saat berolahraga sebagai indikator utama keamanan. Rumusnya sederhana: 220 dikurangi usia. Hasilnya adalah detak jantung maksimal yang disarankan.
“Misalnya usia saya 40 tahun, berarti maksimalnya 180 bpm. Kalau sudah di atas itu, jangan ditambah, justru harus dikurangi intensitasnya. Zona aman atau zona aerobik biasanya sekitar 140 bpm,” jelas dr. Muklis.
Bagi yang memiliki smartwatch atau alat pengukur detak jantung, sangat disarankan untuk digunakan sebagai pengukur kapasitas tubuh saat berlari. Selain itu, pernapasan juga menjadi indikator penting. Jika saat berlari masih bisa mengobrol dengan teman, artinya tubuh masih dalam kondisi aman.
Tak kalah penting, pelari disarankan selalu membawa kartu identitas dan ponsel saat beraktivitas. Ini penting jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kalau sudah mulai sesak atau tidak bisa berkata-kata, berhenti lari, tapi jangan langsung duduk atau rebahan. Jalan pelan-pelan, cari tempat teduh yang tidak ekstrim suhunya, seperti di bawah pohon,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan agar tidak langsung beristirahat di tempat bersuhu terlalu dingin seperti dekat AC, karena perubahan suhu ekstrim dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan dan sirkulasi oksigen ke otak.
“Otak adalah organ yang paling butuh oksigen. Kalau oksigen ke otak berkurang, bisa terjadi hipoksia. Maka dari itu, setelah lari, atur nafas perlahan, tarik dari hidung selama 4 detik, dan tetap waspada terhadap sinyal tubuh,” pungkasnya. (Ziyad/Mel)